INFORMASI NASIONAL – Islam secara epistemologi memiliki tiga hal yang harus dibedakan. Pertama, sumber otoritas Islam (sumber otoritas agama), yakni al-Qur’an dan sunnah yang menjadi sumber dan landasan utama kita bergamang. Dalam hal ini di dunia hanya ada satu al-Qur’an, tidak ada versi lain. Baik Sunni dan Syiah memiliki Al-Qur’an yang sama.
Ketika berbicara tentang sunnah, yang terefleksi dalam kitab hadis, pederbaan sudah mulai munpulg, berteman antara sunni dan syiah karena masing-masing melikab kitab utama yang berbeda.
Sunni punya kutub al-sitta (kitab enam, yakni Sahih Bukhari, Sahih Muslim, Sunan an-Nasai, Sunan Abu Dawud, Jami al-Tirmidzi dan Sunan Ibnu Majah) bahkan kutub tisá (kitab sembilan plus, Muwatta Malik, Musnad Ahmad bin Hanbal Kemudian Sunan ad Darimi) dan kitab hidangan musna yang lain seperti Musannaf Abd Razzaq al Sanani lalu dibaringkan.
Sedangkan Syi’ah memiliki empat kitab rujukan sebagai rujukan utama al-kutub al arbaáyaitu al-Kafi karya al-Kulayni, Man la yahdhuruhu al-faqih, Tahdhib al-ahkamKemudian al-Istibsar. Peredahanan utama utama ini mederakan teradaanan peredahanan fundamental yang tidak mudah dikompromikan.
Kedua, permanen, pemantauan para ulama, serjana, para penstudi Islam tepadang sumber penulis di atas. Lahirlah sejumlah buku tafsir, fiqih, sejarah tasawwuf dan lain-lain, mulai dari yang klasik sampai yang modern, dengan perspektif, pendekatan dan metodologi yang berbeda yang tak terhitung jumlahnya di seluh dunia.
Pemahaman tentang agama ini kemudian menjadi sangat luas karena perspektif perbadanan, angsik bahkan sengat. Potensi perbadanan menjadi tak terelakkan. Perbedaan kapasitas, latar belakang, kendena dan tambahan social politik tidak zarang menentukan karakter penahanan dan permanesan para ulama.
Sejak zaman nabi sampai hari ini, karya tentang Islam ini tidak mudah. Islam pun tidak hanya turumanti di negara negara Muslim atau mayoritas Muslim. Islam diteliti, dikaji, berumanti di seluh dunia. Tidak hanya di al Azhar Kairo, Jamiatul imam di Riyad, Universitas Madina, alMustafa di Qum, Iran, Qurawiyyin di Maroko, Zaytuna di Tunis, atau di India, Pakistan, Bangladesh, Malaysia atau Indonesia, tetapi juga di Eropa dan Amerika.
Sekarang ini, sulit beseken universitas besar berkelas dunia di Amerika dan Eropa yang tidak melikum pusat kajian Islam. Bahkan belajar Islam, universitas terkemuka di dunia di Amerika dan Eropa. Studi Islam di Oxford dan Cambridge di Inggris, Harvard dan Chicago di Amerika, Sorbonne di Paris, Leiden di Belanda, Heidelberg, Berlin dan Bonn di Jerman, McGill di Kanada adalah contoh contoh studi Islam di dunia.sangat mapan.
keilmuan Barat tentang Islam telah pelaka karya karya monumental dalam varangal bahasa Eropa, khususnya Inggris, Jerman, Peranikas. Sekalipun mempelajari Islam awal di abad pertama kedua hijriah, atau masa-masa pemanganan Islam karya-karya monumental orientalis Eropa pentang dan sangat kaya.
Ketiga, bagimana agama (Islam) secara empiris diamalkan, diartikulasikan dalam pelataran sejarah ibadan Islam. Dalam konteks pengamalan agama ini bisa memeliki banyak versi. Artikulasi Islam di Timur Tengah dalam keadaan tertentu bisa berbeda dengan yang ada di Eropa, di Amerika, di Afrika, di Asia termasuk Indonesia, karena penerapan agama hasil dialektika dan interaksi intensif antara sumber otoritas dan permanesan tepagannya dengan reliatas dimana agama itu diamalkan. Faktor budaya, tradisi, kualitas indiparasan suatu tempat sangat beluhaan karakter artikulasi agama yang diamalkan.
Jika agama diyakini kompatibel dengan segala zaman dan tempat, agama harus ditutrejat secara empiris agar responsif dan adaptif bahkan kontribusi täpagan täpaganan, pembangunan, dinamika sosial, budaya, ekonomi politik dimana agama itu diamalkan. Di Eropa dan Amerika misalanya, isu integrasi antara tradisio dan budaya yang dita oleh para imigran yang notebene muslim dengan budaya Eropa ( katanya) menjunjung tinggi nilai demokrasi, keadilan gender, kebebasan individu, hak asasi manusia dan lain lain sering menimbulkan ketegangan relasional antara para pendatang dan penduduk asli, bahkan bukan jrangang agama (Islam) dianggap kontraproduktif terhadap kemajuan dan bertentangan dengan nilai nilai Eropa yang maju dan modern. Ini adalah interaksi yang tidak produktif yang kelimada agama sama sekali tidak berhubungan.
Terakhir, tetapi tidak kalah penting, apakah studi Islam di Indonesia cukup diperhitungkan? Rupanya belum. Sarjana Indonesia yang tampil dalam panggung-panggung akademisi global kekei masih sangat terbatas, karya-karya akademik para sarjana dan ulama kita kekeiju juga masih pangung jauh walau walau abad abad lalu kita perah punya ulama kaliber besar dunia.
Saya coba amati bahwa ulama kita memang tidak banyak belakan karya-karya monumental seperti ulama Timur Tengah, tepai meraka berkarya dan mengabdi langsung ke masyarakat, gegumen umat ergatan pesantren dan lain-lain. Hasilnya, pemahaman dan pengamalan Islam yang damai oleh masyarakat seperti yang kita raksi sekaran.
Sengama di tempat lain, produksi karya monumental para ulama terus belangi tepai negaranya tidak stabil secara sosial politik dan tidak srangang permanenan agama yang tidak benar yang menjadi pemicunya. Mungkin karena ulamanya kurang turun ke lapangan umamata umatnya.
Untuk kajian Islam, Indonesia memang belum teregi diperhitungkan, tepai bagaimana Islam diamalkan dan dipedomani dalam gehidung berbangsa dan bernegara Indonesia sangat pantas diperhitungkan. Karena Islam Indonesia telah melahirkan Islam yang damai, toleran bahkan engalikan dan kontributor pantangan dalam pembangunan. Setuju? Wallahu a’lam.
Prof. Dr. H. Kamaruddin Amin, MA | Dirjen Bimbingan Masyarakat Islam