TAGARINDONESIA, Jakarta – Sidang putusan Mahkamah Konstitusi atau MK mengenai batas usia calon presiden dan calon wakil presiden diwarnai dissenting opinion atau perbedaan pendapat. Hal itu dinyatakan oleh tiga hakim MK, yakni Wakil Ketua MK Saldi Isra, Hakim Konstitusi Arief Hidayat, dan Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams.

Dilansir dari Mkri, ketiganya menilai seharusnya MK menolak permohonan pemohon. Wakil Ketua MK Saldi Isra menyebut bahwa putusan perkara itu sebagai peristiwa aneh yang luar biasa. “Sejak menapakkan kaki sebagai Hakim Konstitusi pada 11 April 2017 atau sekitar enam setengah tahun lalu, baru kali ini saya mengalami peristiwa aneh yang luar biasa,” kata Saldi pada Senin, 16 Oktober 2023.

Sejalan dengan Saldi, Hakim Konstitusi Arief Hidayat merasakan ada keganjilan dalam proses pengambilan keputusan uji materiil Pasal 169 huruf q UU 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum yang mengatur soal batas usia capres-cawapres.

“Meskipun ini tidak melanggar hukum acara, namun penundaan perkara a quo berpotensi menunda keadilan dan pada akhirnya akan meniadakan keadilan itu sendiri,” kata Arief

Awalnya pada putusan perkara gugatan gelombang pertama Ketua MK Anwar Usman yang juga adik ipar dari Presiden Joko Widodo atau Jokowi tidak ikut memutus perkara. Ketidakhadiran dirinya berbuah putusan perkara ditolak dengan komposisi enam hakim menolak dan dua hakim berbeda pendapat atau dissenting opinion.

Namun, pada perkara nomor 90 dan 91, Anwar Usman tiba-tiba ikut membahas dan ikut memutus perkara tersebut. Padahal isu konstitusionalnya sama dengan perkara gelombang pertama. Hasilnya, perkara nomor 90 dikabulkan sebagian.

Dari situ, ketiga hakim menyatakan dissenting opinion, yakni Wakil Ketua MK Saldi Isra, Hakim Konstitusi Arief Hidayat, dan Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams.

Lantas, apa itu dissenting opinion?

Iklan

Dikutip dari artikel ilmiah berjudul Kedudukan Dissenting Opinion Sebagai Upaya Kebebasan Hakim Untuk Mencari Keadilan Di Indonesia yang ditulis oleh Hangga Prajatama, dissenting oppinion merupakan perbedaan pendapat antara hakim (minoritas) dengan hakim lain atau putusan pengadilan.

Sederhananya, dissenting opinion adalah perbedaan pendapat atau opini yang dibuat oleh satu atau lebih anggota majelis hakim yang tidak setuju (disagree) dengan keputusan yang diambil oleh mayoritas anggota majelis hakim.

Di Indonesia, dissenting opinion baru memiliki landasan yuridis dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 tentang Kepailitan. Lalu berdasarkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 jo Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Pasal 19 ayat (4) dan ayat (5) mengatur tentang dissenting opinion menyatakan bahwa setiap hakim wajib menyampaikan pertimbangan atau pendapat tertulis terhadap perkara yang sedang diperiksa dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari putusan. Meskipun terdapat dissenting opinion dari beberapa hakim, pendapat itu tetap dicantumkan dalam putusan.

Dalam artikel ilmiah yang berjudul Peran Dissenting Opinion Hakim Konstitusi dalam Pembaharuan Hukum Nasional, dalam suatu perkara dissenting opinion yang dicantumkan dalam putusan memiliki fungsi bahwa meskipun suatu perkara sudah diputuskan oleh suara mayoritas hakim, tetapi tidak serta merta putusan tersebut benar secara mutlak. Hal itu membuat dissenting opinion memiliki fondasi pada keputusan yang akan datang.

ANANDA BINTANG I  ADE RIDWAN YANDWIPUTRA 

Pilihan Editor: Saldi Isra Bingung Putusan Hakim MK Berubah Setelah Anwar Usman Ikut Rapat



Source link

By Admin

Tagarindonesia.id adalah situs berita Indonesia yang menyajikan informasi seputar berita terpercaya, bebas hoax dan profesional.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

× Live Chat